Kamis, 27 Oktober 2011

Back To Warteg

Sabtu sore di sebuah terminal bus terlihat seorang kenek metromini, yang bahasa kerennya kondektur, tengah sibuk menghitung uang hasil narik seharian ini. Syafei yang akrab dipanggil Pi’i ini lalu membagi-bagi uang tersebut menjadi tiga bagian. Satu bagian akan disetorkannya pada yang empunya metromini, sementara sisanya merupakan bagiannya dan partner-nya yang tidak lain supir metromini itu.
“Woi, ngitung duit dari tadi kagak kelar-kelar, mana bagian Gue?” tanya Mamat pada Syafei yang terlihat bingung saat menghitung uang. “Eh Elo Mat, bikin kaget Gue aja, nih bagian Loe,” jawab Syafei sembari menyerahkan bagian si Mamat. “Eh, kenapa Loe? Muka udah kayak duit yang diremes-remes gitu?” selidik Mamat.
“Iya nih Mat. Gue bingung, si Inem ngajakin Gue pergi malem mingguan. Kalo jadi, ini malem Mingguan pertama Gue sama si Inem. Masalahnya, duit Gue cuman dua puluh ribu doang nih,” jelas Syafei dengan logat Betawinya. “Ya elah, gampang Pi’i. Loe ajak aja si Inem ke mall, cewek kan demenannya ke mall,” usul Mamat. Syafei yang masih kebingungan pun setuju dengan usulan Mamat.
Syafei dan Inem akhirnya menghabiskan malam minggu pertamanya di mall. Kebahagian tampak pada raut wajah keduanya. Mall yang saat itu didominasi oleh pasangan muda-mudi membuat mereka merasa sedikit kikuk lantaran saat itu kali pertama mereka menginjakkan kakinya di sana. “Bang Pi’i kita enggak salah masuk nih? Inem malu Bang, tadi mah mending kita ke pasar malam aja,” kata Inem sambil menunduk kikuk. “Tenang aja Nem, kan ada Abang,” jawab Syafei yang sebenarnya juga sudah merasa tidak nyaman saat dari pertama masuk ke dalam gedung berlantai tiga itu. Tapi yang namanya sama pacar, dunia serasa milik berdua, mereka pun kembali menikmati first date-nya itu.
Walau hanya window shopping alias melihat-lihat mereka tetap semangat melangkahkan kakinya, menyusuri setiap toko di sana. Sampai pada akhirnya ada seorang sales pomotion girl yang memberikan brosur pada dua sejoli itu. “Apaan tuh Bang?” tanya Inem pada Syafei setelah menerima brosur tadi. “Oh ini brosur, Panas Goceng: Paket Nasi Harga Goceng. Wah kita makan yuk, Inem udah laper kan?” ajak Syafei yang seperti mendapat angin segar setelah membaca brosur tadi. “Boleh Bang, tapi kita makan di mana? Inem belum pernah makan di tempat kayak gini,” Inem langsung setuju karena memang sudah tidak kuat lagi menahan lapar. “Abang tau tempat yang asik buat makan,” Syafei yang tanpa pikir panjang langsung menyeret Inem ke tempat yang dimaksud dalam brosur.
“Silakan Pak, mau pesan apa?” tanya kasir perempuan. “Saya pesan yang kayak gini dua ya Mbak,” Syafei memesan makanan sambil menunjukkan brosur yang dipegangnya sedari tadi. “Panas Goceng-nya dua ya Pak, ada lagi Pak?” tanya kasir itu lagi. ”Enggak Mbak, itu aja. Ini Mbak duitnya,” dengan gagahnya Syafei menyerahkan selembar uang sepuluh ribu rupiah. “Semuanya jadi sebelas ribu rupiah Pak,” ujar sang kasir. Sontak Syafei kaget. “Kok sebelas ribu Mbak? Bukannya di brosur harganya goceng?” tanya Syafei penasaran.
“Oh gini Pak, harga di brosur ini belum termasuk Pajak Pembangunan 10%, jadi total semuanya sebelas ribu Pak.” jelas kasir itu. Karena malu Syafei segera menambahkan uang seribu rupiah pada kasir itu. ”Uangnya pas ya Pak, sebelas ribu rupiah. Bapak silahkan cari tempat duduk di sana, pesanannya akan kami antar segera. Terima kasih Pak,” kata kasir itu seraya menunjuk deretan kursi yang hampir terisi penuh. Mereka lalu cepat-cepat meninggalkan kasir dan segera mencari kursi yang kosong, tentunya yang agak jauh dari tempat kasir itu.
Tak lama setelah mereka duduk, datang pelayan membawakan pesanan mereka. ”Ini pesanannya, dua Panas Goceng,” ujar pelayan itu berkata sambil meletakkan pesanan. “Lho kok dikit banget Mbak nasinya? Mana ayamnya bagian sayap yang enggak utuh lagi... Beda banget sama yang ada di brosur,” komentar Syafei saat melihat pesanannya jauh dari apa yang dilihatnya di brosur. Tanpa berkata-kata pelayan itu melengos pergi. “Iya ya Bang, udah kayak nasi kucing aja. Mana harganya beda lagi sama yang di busur,” Inem berkata. “Brosur Inemku, bukan busur,” Syafei membetulkan. Sebenarnya dalam hati Syafei malu pada Inem, betapa tidak, kencan pertamanya tidak berjalan mulus. “Yah gimana mau mulus kalo enggak ada fulus...” batinnya.
Setengah hati mereka menyantap makanan itu. Syafei mengancam dalam hati bahwa dia akan makan dua piring nasi lagi setibanya di tempat kos. ”Bang tau gini, mending kita makan di warteg Inem aja deh. Udah murah, kenyang, trus dijamin nikmat. Kalo kata anak sekolahan yang biasa makan di warteg Inem, bek tu warteg (back to warteg) Bang!” kata Inem yang ikut kesal. Inem memang bekerja di warteg yang letaknya tidak jauh dari terminal tempat Syafei biasanya mangkal.
”Iya Nem, tau gitu kita tadi ke pasar malem aja yah, trus kita makan di warteg Inem, Abang jadi pengen semur jengkol buatan Inem nih jadinya,” rayu Syafei pada Inem. ”Beres Bang, besok Inem masakin semur jengkol khusus buat Abang,” balas Inem. ”Nem, jangan marah yah... sebenarnya duit Abang hampir abis nih. Cuman cukup buat naik angkot sekali aja, nanti separo jalannya kita jalan kaki ya?” bujuk Syafei malu-malu pada Inem.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar