Kamis, 23 Agustus 2012

Aku Hanya Butuh Segelas Air Putih

Aku hanya butuh segelas air putih
Tidak segelas sirup merah beraroma vanili
Bukan secangkir teh manis hangat atau secangkir green tea
Bukan pula secangkir kopi
Apalagi sesloki whisky

Aku hanya butuh segelas air putih
Sederhana, bersahaja
Banyak faedah dan tak banyak tingkah

Aku hanya butuh segelas air putih
Karenanya, tak lagi ku butuhkan gula
Pun perwarna
Hanya kejernihan raga
Yang mampu melepas dahaga

Aku hanya butuh segelas air putih
Teman setia ke mana kaki melangkah
Penawar racun dan pelipur lara di jiwa

Untuk segelas air putih yang selalu ku nanti

_D 3535 KA_
Halim, 13/11/2010

Reborn

Entah mengapa saya merasa terlahir kembali, ketika muncul semangat untuk kembali menulis dan mengisi kehampaan blog saya ini. Enggak terasa lho, tahu-tahu sudah 10 (sepuluh) bulan saya vakum menulis! Komitmen dan semangat awal saya membuat blog ini seakan tidak berpengaruh optimal untuk saya aktif menulis. Kesibukan kerja dan kuliah yang membelenggu, merupakan alibi jitu bagi saya ketika mangkir dari 'kewajiban' menulis ini. 
    Semangat menjadi pribadi baru, mungkin juga karena masih dalam nuansa lebaran yang kita semua tentu berharap bakal memasuki kehidupan yang lebih baik. Jadi momennya pas banget buat mem-publish tulisan (curhatan) saya ini.
Dalam kurun waktu sepuluh bulan selama saya menghilang dari jagad blogger, banyak hal penting yang terjadi dalam kehidupan saya, baik suka maupun duka. Mulai dari saya resign dari kantor lama karena saya dapat ‘perahu’ baru sampai kejadian yang paling menyesakkan hati: Patah Hati. :(
Alhamdulillah, per 1 Februari 2012 saya bergabung menjadi tax advisory di sebuah bank swasta di Indonesia. Ajaib juga, dari jurnalis jadi bankir. Masih dalam ruang lingkup pajak memang dan yang membuat saya harus bolak-balik bersyukur adalah kerjaan saya yang sekarang ini memuntut kemampuan mengombinasikan komunikasi verbal dan tulisan! Yup, selain menulis, kemampuan berbicara pun sangat dibutuhkan di sini. Jadi, dua hal ini bakal selalu terasah selama saya berkarier saat ini.
Di awal memang terasa berat karena harus meninggalkan kantor lama saya. Enggak mudah meninggalkan teman dan lingkungan di kantor lama yang telah mengubah pribadi saya menjadi lebih baik. Apalagi melihat realita yang ada, membuat saya bertekad untuk berpaling dan menerima tantangan baru. Di kantor baru, saya pun dituntut untuk cepat beradaptasi. Apalagi dunia perbankan yang begitu dinamis, mengharuskan saya berlari kencang. Secara perlahan masa sulit itu pun terlewati. Alhamdulillah, terima kasih Yaa Robb. Semoga ke depannya, saya bisa menunjukkan performance yang lebih baik dan hidup saya menjadi lebih berkah. Aamiin...
Dan, suka berganti duka...memasuki pertengahan tahun ini, akhirnya saya menyadari bahwa hubungan yang telah saya jalin kurang dari setahun dengan teman lelaki spesial saya telah berakhir. Kenapa ‘menyadari’, ya karena memang tidak ada kejelasan mengenai status hubungan yang sudah sekian lama menggantung. Mengutip lirik lagu Aku Punya Hati-nya Kahitna...“Kusadari, aku yang harus pergi...”. Pada dasarnya, saya enggak ingin mengganggu atau memberatkan hari-harinya lagi. Saya enggak akan memaksa lelaki kelahiran April 1987 itu untuk bicara mengenai status kami lagi.
Sedih, tangis, galau, bercampur mewarnai hari-hari kelabu saya saat tahu bahwa saya sudah tidak diingini lagi. Sebenarnya, saya bisa terima kalau ternyata saya memang belum berjodoh dengannya. Tapi satu hal yang saya sesali dan kecewa sangat adalah caranya mengakhiri hubungan. Seandainya dia bisa tegas bicara bahwa dia sudah tidak ingin saya ada di kehidupannya, saya pasti bakal bisa terima. Tapi kenyataannya...
Ya sudahlah, bagaimanapun, dia pernah ada dalam daftar orang-orang terkasih dan tersayang di kehidupan saya. Peristiwa ini menjadikan saya dan keluarga menjadi dewasa, dan pastinya bakal menjadi pelajaran berharga buat saya.
Move on, adalah satu-satunya jalan buat saya bangkit. Kata orang jodoh enggak akan kemana. Tapi, kalau enggak kemana-mana, mana dapet jodohnya, tul enggak? Perluas pergaulan, lebih peka terhadap sekitar dan lebih mendekatkan diri pada Illahi Robbi, saya yakin bisa menolong saya keluar dari masa suram ini.
Suka dan duka akan selalu ada, mengiringi setiap langkah kita. Tinggal bagaimana kita menyikapi dan memahami bahwa kedua hal itu sangat dibutuhkan dalam proses pendewasaan diri. Rasa syukur tiada pernah terhenti tercurah untuk-Nya, Sang Penulis skenario kehidupan kita.
Ya, cerita di atas tadi merupakan sepenggal kisah penting dalam sejarah hidup saya. Sebuah kisah yang membuat saya semakin memahami bahwa there's Allah always besides us and Allah knows best!
Selamat menyongsong hari dan pribadi baru. 
Be positive, be progressive!
Ok, case closed and I’ll try to get back to active in writing!

Cheers,
D 3535 KA

Kamis, 27 Oktober 2011

Ngobrolin Pajak di Salon

Anita berencana akan menghabiskan week end ini dengan memanjakan diri di salon langganannya. Maklum, sudah beberapa bulan terakhir ia tengah sibuk dengan pekerjaannya. Profesinya sebagai konsultan pajak memang banyak menyita waktunya. Jangankan untuk berlama-lama treatment di salon, istirahat di rumah pun rasanya sulit.
Sesampainya di salon, Anita langsung disambut hangat oleh para stylist di sana yang kebanyakan waria. “How are you Jeng Anita, long time no see, udah lama nih enggak nyalon?” tanya salah seorang stylist dengan gaya khas waria. “Hi Ovy, I’m fine, thank you. How are you?” balas wanita berambut panjang itu.
We are fine too, sweety. Ke mana aja sih selama ini?” tanya stylist yang bernama Ovy itu. “Kenapa? You kehilangan pelanggan yang baik kayak I ya?” Anita iseng menggoda Ovy. “Iyalah, secara Jeng yang paling getol ke sini tiba-tiba menghilang ditelan bumi. Anyway mau treatment apa nih?” tanya Ovy lagi sambil membimbing arah jalan Anita ke meja rias yang terlihat kosong.
“Biasalah, manicure, pedicure, facial sama hair spa ya Mas,” jawab Anita sambil menjatuhkan badannya di atas bangku. “Jeng please deh, masa’ I dipanggil Mas, just call me Ses Ovy aja kali,” ujar Ovy sewot.
“Oh iya, I’m sorry Ses Ovy, hehehe,” ejek Anita disertai gelak tawa. Suasana salon pun menjadi ramai dengan celetukan-celetukan stylist lain yang ikut menertawai Ovy. “Ih kalian jahat, ikut nimbrung aja,” ujar Ovy pada teman-temannya. Bukannya mereda, teman-temannya malah kian ramai menyoraki Ovy.
“Ke mana aja sih Jeng baru mampir?” tanya Ovy seraya mengajak Anita untuk dikeramas. “Aduh ini rambut... udah kayak sapu ijuk!” ujar Ovy sambil menuangkan shampoo. Anita tersenyum  kecut mendengarnya.
“Apalagi mukamu Jeng, liat ini jerawat apa kerikil yang pada nempel, banyak banget, pasti enggak keurus ya?” tanya Ovy lagi sambil memegangi rambut Anita dan dia mulai meneliti bagian mana saja dari muka dan rambut Anita yang harus di-treatment.
 “Iya nih I baru ada waktu ke sini, kemarin I sibuk banget, biasalah ngurusin pajak klien-klienku. Oh iya, nanti tolong massage kepala sama pundak I agak kuat ya,” pinta Anita. “Sip! Serahkan pada Ses Ovy,” sahut Ovy sambil menepuk dadanya.
I percaya deh, service Ses Ovy pasti memuaskan. Kalo enggak kan mana mungkin I mau Ses yang handle buat treatment I,” ujar Anita. Ovy merah merona mendengarnya.
Ovy lalu menggiring Anita menuju meja rias kembali setelah mengeramasi Anita. Tiba-tiba percakapan mereka terhenti oleh dering telepon genggam milik Anita. “Oh sunset policy, dasar hukumnya Pasal 37A Undang-Undang KUP Bu, gampanglah besok kita bicarain di kantor,” jawab Anita pada suara di seberang sana. Sementara dengan raut wajah serius Ovy memperhatikan Anita bercakap-cakap di telepon.
“Jeng, kalau pegawai KUA kan ngurusin kayak pernikahan sama perceraian gitu, terus kalau pegawai KUP itu ngurusin apa aja sih?” tanya Ovy penasaran lantaran mendengar kata KUP yang diucapkan Anita pada koleganya tadi.
”Wah kayaknya Ses salah paham nih, KUP itu salah satu jenis undang-undang yang ada di pajak. Selain Undang-Undang PPh, PPN, PBB... Nah, KUP kependekan dari Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan...” jawab Anita yang sedikit kikuk bercampur bingung saat menjawab pertanyaan Ovy.
Oh My God, I kira KUP itu Kantor Urusan Pajak, semacam KUA yang kependekan dari Kantor Urusan Agama, Jeng,“ jawab Ovy sekenanya lengkap dengan mimik wajah lugunya, lagi-lagi disambut gelak tawa di sana lantaran Ovy mencoba menirukan gaya Tukul Arwana yang memainkan bibirnya.
”Kalau kantor yang biasa menangani pajak namanya KPP kependekan dari Kantor Pelayanan Pajak. KPP ini berada di bawah naungan Direktorat Jenderal Pajak atau biasa disingkat DJP. Jadi kalau mau lapor SPT atau berurusan dengan petugas pajak di tempatnya bukan di KUP tapi di KPP, gitchu Ses,” Anita menambahi sambil menahan tawa karena geli.
Whatever-lah Jeng,” ujar Ovy memelas dan pasrah.
Wait-wait, kok pake gunting? Aku kan cuma treatment manicure, pedicure, facial, sama hair spa aja,” cegah Anita refleks sekaligus kaget ketika melihat Ovy akan menggunting rambutnya.
”Dengan massage yang agak kencang di kepala sama pundak kan? I’m so sorry Jeng. I never meant to make you disappointed. Mendingan kita ganti topik obrolan aja ya, Jeng. I enggak hoki nih kalo ngomongin pajak,” ujar Ovy sambil menunduk karena malu hati.

Back To Warteg

Sabtu sore di sebuah terminal bus terlihat seorang kenek metromini, yang bahasa kerennya kondektur, tengah sibuk menghitung uang hasil narik seharian ini. Syafei yang akrab dipanggil Pi’i ini lalu membagi-bagi uang tersebut menjadi tiga bagian. Satu bagian akan disetorkannya pada yang empunya metromini, sementara sisanya merupakan bagiannya dan partner-nya yang tidak lain supir metromini itu.
“Woi, ngitung duit dari tadi kagak kelar-kelar, mana bagian Gue?” tanya Mamat pada Syafei yang terlihat bingung saat menghitung uang. “Eh Elo Mat, bikin kaget Gue aja, nih bagian Loe,” jawab Syafei sembari menyerahkan bagian si Mamat. “Eh, kenapa Loe? Muka udah kayak duit yang diremes-remes gitu?” selidik Mamat.
“Iya nih Mat. Gue bingung, si Inem ngajakin Gue pergi malem mingguan. Kalo jadi, ini malem Mingguan pertama Gue sama si Inem. Masalahnya, duit Gue cuman dua puluh ribu doang nih,” jelas Syafei dengan logat Betawinya. “Ya elah, gampang Pi’i. Loe ajak aja si Inem ke mall, cewek kan demenannya ke mall,” usul Mamat. Syafei yang masih kebingungan pun setuju dengan usulan Mamat.
Syafei dan Inem akhirnya menghabiskan malam minggu pertamanya di mall. Kebahagian tampak pada raut wajah keduanya. Mall yang saat itu didominasi oleh pasangan muda-mudi membuat mereka merasa sedikit kikuk lantaran saat itu kali pertama mereka menginjakkan kakinya di sana. “Bang Pi’i kita enggak salah masuk nih? Inem malu Bang, tadi mah mending kita ke pasar malam aja,” kata Inem sambil menunduk kikuk. “Tenang aja Nem, kan ada Abang,” jawab Syafei yang sebenarnya juga sudah merasa tidak nyaman saat dari pertama masuk ke dalam gedung berlantai tiga itu. Tapi yang namanya sama pacar, dunia serasa milik berdua, mereka pun kembali menikmati first date-nya itu.
Walau hanya window shopping alias melihat-lihat mereka tetap semangat melangkahkan kakinya, menyusuri setiap toko di sana. Sampai pada akhirnya ada seorang sales pomotion girl yang memberikan brosur pada dua sejoli itu. “Apaan tuh Bang?” tanya Inem pada Syafei setelah menerima brosur tadi. “Oh ini brosur, Panas Goceng: Paket Nasi Harga Goceng. Wah kita makan yuk, Inem udah laper kan?” ajak Syafei yang seperti mendapat angin segar setelah membaca brosur tadi. “Boleh Bang, tapi kita makan di mana? Inem belum pernah makan di tempat kayak gini,” Inem langsung setuju karena memang sudah tidak kuat lagi menahan lapar. “Abang tau tempat yang asik buat makan,” Syafei yang tanpa pikir panjang langsung menyeret Inem ke tempat yang dimaksud dalam brosur.
“Silakan Pak, mau pesan apa?” tanya kasir perempuan. “Saya pesan yang kayak gini dua ya Mbak,” Syafei memesan makanan sambil menunjukkan brosur yang dipegangnya sedari tadi. “Panas Goceng-nya dua ya Pak, ada lagi Pak?” tanya kasir itu lagi. ”Enggak Mbak, itu aja. Ini Mbak duitnya,” dengan gagahnya Syafei menyerahkan selembar uang sepuluh ribu rupiah. “Semuanya jadi sebelas ribu rupiah Pak,” ujar sang kasir. Sontak Syafei kaget. “Kok sebelas ribu Mbak? Bukannya di brosur harganya goceng?” tanya Syafei penasaran.
“Oh gini Pak, harga di brosur ini belum termasuk Pajak Pembangunan 10%, jadi total semuanya sebelas ribu Pak.” jelas kasir itu. Karena malu Syafei segera menambahkan uang seribu rupiah pada kasir itu. ”Uangnya pas ya Pak, sebelas ribu rupiah. Bapak silahkan cari tempat duduk di sana, pesanannya akan kami antar segera. Terima kasih Pak,” kata kasir itu seraya menunjuk deretan kursi yang hampir terisi penuh. Mereka lalu cepat-cepat meninggalkan kasir dan segera mencari kursi yang kosong, tentunya yang agak jauh dari tempat kasir itu.
Tak lama setelah mereka duduk, datang pelayan membawakan pesanan mereka. ”Ini pesanannya, dua Panas Goceng,” ujar pelayan itu berkata sambil meletakkan pesanan. “Lho kok dikit banget Mbak nasinya? Mana ayamnya bagian sayap yang enggak utuh lagi... Beda banget sama yang ada di brosur,” komentar Syafei saat melihat pesanannya jauh dari apa yang dilihatnya di brosur. Tanpa berkata-kata pelayan itu melengos pergi. “Iya ya Bang, udah kayak nasi kucing aja. Mana harganya beda lagi sama yang di busur,” Inem berkata. “Brosur Inemku, bukan busur,” Syafei membetulkan. Sebenarnya dalam hati Syafei malu pada Inem, betapa tidak, kencan pertamanya tidak berjalan mulus. “Yah gimana mau mulus kalo enggak ada fulus...” batinnya.
Setengah hati mereka menyantap makanan itu. Syafei mengancam dalam hati bahwa dia akan makan dua piring nasi lagi setibanya di tempat kos. ”Bang tau gini, mending kita makan di warteg Inem aja deh. Udah murah, kenyang, trus dijamin nikmat. Kalo kata anak sekolahan yang biasa makan di warteg Inem, bek tu warteg (back to warteg) Bang!” kata Inem yang ikut kesal. Inem memang bekerja di warteg yang letaknya tidak jauh dari terminal tempat Syafei biasanya mangkal.
”Iya Nem, tau gitu kita tadi ke pasar malem aja yah, trus kita makan di warteg Inem, Abang jadi pengen semur jengkol buatan Inem nih jadinya,” rayu Syafei pada Inem. ”Beres Bang, besok Inem masakin semur jengkol khusus buat Abang,” balas Inem. ”Nem, jangan marah yah... sebenarnya duit Abang hampir abis nih. Cuman cukup buat naik angkot sekali aja, nanti separo jalannya kita jalan kaki ya?” bujuk Syafei malu-malu pada Inem.

Pilihan

Suatu hari bulan dan bintang datang menemuiku.
Lalu, bulan bertanya kepadaku, "Di antara aku dan bintang, siapa yang akan kau pilih untuk menemanimu di sisa hidupmu?"
Aku terdiam sejenak, tak langsung menjawab. "Tak sulit bukan? Pilihlah di antara kami yang paling kau senangi. Ikuti kata hatimu." bintang menimpali.
"Mengapa aku harus memilih salah satu dari kalian? Bukankah kalian bersahabat? Kalian saling menerangi saat hariku suram. Kalian menuntunku saat jalanku terasa buntu. Sayangku kepada kalian sama rata. Bulan penting bagiku, sama pentingnya bintang untukku." jawabku.
"Hidup ini pilihan, Putri. Kau tak bisa hidup dengan kami berdua. Kau harus memilih. Dengar, dengan bersamaku, aku akan menuruti segala kemauanmu. Aku akan menyanggupi semua permintaanmu. Aku bisa memberimu purnama paling indah yang pernah ada," bujuk sang bulan.
"Tapi, bukankah cahayamu itu semu, bulan? Cahayamu itu pantulan dari sang surya. Kau tidak bisa bercahaya sendiri layaknya aku. Pilihlah aku, Putri. Aku akan melukis wajahmu di angkasa dengan cahayaku. Dengan begitu, semesta akan tahu betapa cantiknya dirimu," bintang merayu tak mau kalah.
"Sudahlah, kalian jangan bertengkar. Aku tak mungkin memilih salah satu dari kalian. Nanti, tak akan ada lagi dongeng tentang bintang dan bulan. Takkan ada lagi lagu tentang bulan dan bintang. Aku tak mau itu terjadi," aku berusaha memberi penjelasan.
"Lagipula..." aku menambahi. "Aku sudah memilih siapa gerangan yang akan menemani hari-hariku hingga nanti ajal menjemputku," kataku sedikit ragu.
"Siapa dia, Putri?" tanya bintang dan bulan berbarengan, penasaran.
"Aku akan memilih laki-laki yang membangunkanku dari mimpi ini. Lelaki yang akan membawaku ke kehidupan nyata." jawabku lantang, kini tanpa ragu.

Mega Proyek

“Akhirnya...”
Itulah kata pertama yang terucap ketika saya berhasil merilis blog ini. Artinya, saya sudah berani bergaya di hadapan publik as personal, lewat kata-kata tentunya. Saya membuat blog ini agak telat memang, tapi bukankah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali? (Percayalah, ini hanyalah bentuk pembelaan diri saja! Hahaha...).
Hal yang paling menakjubkan dari semua kegiatan membangun blog ini adalah menamai blog ini. Kalau menulis konten blog, sejam aja udah kelar, tapi bikin nama dari blog ini susahnya minta amplop. Mulai dari alfabeta, warisankata, pikirani, jejakaki, sampai akhirnya tercetus dua kata “Kala Sela”. Ya, semua hal yang mengisi dan mewarnai blog ini datang di saat sela itu ada.
Saya suka ruang dan waktu yang memiliki ‘sela’, ruang kosong yang menjadi penghubung antara dua kondisi yang kadang kala berada di luar batas normal. Waktu sela, saat kita bisa berhenti sejenak dari rutinitas dan kemudian siap melanjutkan aktivitas kembali. Ruang sela, tempat di mana kita bisa sejenak merebahkan tubuh dari aktivitas yang membelenggu, sebelum akhirnya bangun kembali. Dengan begitu, hidup akan terasa jauh lebih ringan dan seimbang.
Menengok ke belakang, sebenarnya, dalam dunia blogging saya ini enggak baru-baru amat. Selain sudah lama berprofesi sebagai pembaca setia, saya juga aktif me-maintain blog majalah tempat saya bekerja. (Wups, jadi ingat kalau blog iseng-iseng itu sudah lama enggak saya update!). Kalau akhirnya saya memutuskan untuk terjun sebagai blogger, selain karena memang sudah lama ingin punya blog pribadi, aktivitas ini memang sudah menjadi tuntutan pekerjaan saya saat ini.
Gini ceritanya, dulu job desc di kerjaan saya lebih banyak menulis. Sedikit beda dengan masa lalu, saat ini tanggung jawab saya mayoritas mengandalkan kemampuan verbal. Jika dibandingkan, kemampuan tulis dan lisan yang diandalkan dulu 70:30. Saat ini kebalikannya, komunikasi verbal lebih banyak terkuras dan bertengger di angka 70% dan komunikasi tertulis justru hanya sebesar 30%. Masih dalam ruang lingkup komunikasi memang, hanya saja caranya yang berbeda. Entah pembentukan karakter seperti apalagi yang sedang dipersiapkan kantor saya terhadap saya. Yang pasti, saya menikmati sekali berbagai kesempatan dan tantangan yang ditawarkan oleh kantor yang sudah menjadi rumah kedua saya sejak 3,5 tahun yang lalu.
Nah, karena faktor (x) itu tadi, saya enggak ingin kemampuan menulis saya menjadi menurun, bahkan hilang. Saya lalu mengandalkan media blog ini untuk mengasah skill menulis saya. Di sini, saya akan menulis apa saja. Terinspirasi juga pesan-pesan dari para pendahulu, “Scripta Manent, Verba Voland” yang artinya, yang tertulis akan abadi, yang terucap akan lenyap bersama hembusan angin. Dengan menulis, eksistensi kita semakin kentara. Siapa tahu suatu saat nanti saya menjadi orang terkenal, banyak orang mencari tahu tentang saya, ya, blog ini salah satu referensinya.
Melalui tulisan-tulisan yang akan saya posting-kan nanti, saya berharap dapat menjadi bahan pembelajaran buat siapa saja yang membacanya. Tidak ada hal yang lebih indah selain kita bisa berbagi dan menginspirasi. Hidup seperti itu tentunya akan jauh lebih bermakna. Semoga ‘mega proyek’ ini bisa sukses dan memberikan manfaat bagi orang banyak. Dengan semangat motto latin, nulla dies sine linea (tiada hari tanpa menulis), blog ini adalah bukti eksistensi yang akan saya wariskan untuk anak-cucu saya kelak.
Selamat membaca!